Rabu, 12 Oktober 2016

KECIL-KECIL NIKAH part.2

KECIL-KECIL NIKAH part.2



           Erwanto duduk di hadapan kedua orang tuanya.
"Ada apa Ayah, Bunda, Kelihatan serius sekali?"
"Ini memang hal yang sangat serius Wan, karena menyangkut masa depanmu" Jawab Pak Yanto Ayahnya.
"Seserius itu, ada apa?" Tanya Erwan penasaran, Pak Yanto menarik nafas sesaat.
"Ayah dan Bunda sudah sepakat untuk menjodohkanmu dengan seorang gadis Wan" jawab Pak Yanto.
"Haahhh!! Aku dijodohkan!? Tapi aku baru 18 Ayah!" Seru Erwan kaget luar biasa.
"Ayah tahu Wan, tapi ini baru perjodohan bukan pernikahan!"
"Tapi, kenapa aku harus dijodohkan!?"
"Ini amanah orang tua Bundamu Wan,amanah Kakekmu" Jawab Ayahnya.
"Ya ampun Ayah, ini jaman modern bukan jaman dulu, aku ingin memilih jodohku sendiri!"

"Ayah tahu Wan, tapi kami akan memberikan waktu untuk berpikir kepadamu, waktumu dua hari Wan"
"Apa! Dua hari!?"
"Iya dua hari, kami tidak akan memaksamu Wan, kamu bolh menolak perjodohan ini, tapi tolong pertimbangkan dulu ya"
"Memangnya siapa gadis yang akan dijodohkan denganku Ayah?"
"Dengan Vania, putri bungsu Pak Kades" Jawab Bundanya yang dari tadi hanya diam saja.
"Vania!!" Seru Erwanto terkejut.
"Iya" Jawab Bu Elma.

             Bayangan wajah Vania berkelebat dipelupuk mata Erwanto.
"Memangnya Vania sudah setuju dijodohkan dengan aku?"  
"Belum tahu Wan, karena semua tergantung dari jawabanmu"
"Maksud Bunda?"
"kalau kamu setuju baru Pak Kades membicarakan hal ini dengan Vania, kalau kamu tidak setuju semuanya ya cukup sampai disini" Sahut Pak Yanto.

"Bagaimana kalau aku setuju, tapi Vania menolak?" Tanya Erwan.
"Aku rasa Vania akan menerima perjodohan ini" Sahut Bu Elma.
"Kenapa Bunda begitu yakin?"
" Karena dia sangat ingin melanjutkan nsekolahnya di kota, kalau dia menerima perjodohan ini, maka Ayah dan Bunda akan langsung membawanya bersama kita" Jawab Bu Elma lagi.

"Owwhhh, begitu, tapi aku masih punya waktu dua hari untuk memikirkannya kan?"
"Iya, pikirkanlah Wan!" Pinta Bundanya.
"Dua hari ya?"
"Iya"
"Baiklah" Sahut Erwanto akhirnya tanpa berusaha protes lagi.

               Pikiran Erwan langsung dipenuhi oleh Vania, dijodohkan dengan gadis  secantik Vania siapa yang bisa menolak, bibir manyun Vania terbayang di benaknya, bibir iru akan jadi milikku, batin Erwan.


---


             Usai sarapan Erwan meminjam sepeda milik saudara sepupunya, dengan memakai stelan olahraga berwarna putih ia menuju rumah Vania.
Erwan melihat Vania sedang berlari-lari kecil di halaman rumahnya, training olah raga berwarna biru muda menempel serasi di tubuhnya.
Rambut panjangnya yang dikuncir kuda bergoyang-goyang seirama dengan gerak tubuhnya.

Pak Kades dan Bu Kades sedang duduk di kursi yang ada di teras rumah mereka. Erwan meletakan sepedanya dengan menyandarkan sepeda itu di pagar rumah yang ditanamai tumbuhan merambat jenis lamtoro.
Aroma semerbak bau bunga kopi dari beberapa batang pohon kopi yang tumbuh disamping rumah Pak Kades semakin membuat udara pagi terasa nyaman untuk dinikmati.

             Erwan tahu itu aroma bunga kopi karena di samping rumah Kakeknya sendiri juga ada tanaman pohon kopi.
"Assalamuallaikum Pak, Bu, selamat pagi" Sapa Erwan sopan sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman, diciumnya punggung tangan Pak Kades dan Bu Kades.
"Walaikusalam Wan" Sahut keduanya.
"Mau kemana Wan?" Tanya Bu Tia.
"Mau jalan-jalan saja Bu, ehmmm kalau boleh saya mau minta ijin mengajak Nia menemani saya jalan-jalan, saya takut nyasar soalnya" Kata Erwan dengan sangat sopan.
 Pak Hari dan Bu Tia saling pandang, keduanya mengukir senyuman dibibir mereka.

"Kamu tidak mungkin nyasar di desa ini Wan, tapi kalau kamu ingin ditemani Nia jalan-jalan boleh saja" Jawab Bu Tia. 
"Nia!" Pak Hari melambaikan tangannya kepada Vania yang masih asik beroah raga di halaman rumah, tanpa perduli dengan kedatangan Erwan.
 "Ya Pak" Nia mendekat ke teras tempat dimana kedua orang tuanya dan Erwan berada.
Di tatapnya Erwan dengan tatapan penuh permusuhan, ia masih kesal karena Erwan mengatainya seperti marmut.

"Bang Erwan ingin jalan-jalan keliling desa, kamu temani ya supaya dia tidak nyasar" kata Pak Hari.
"Nyasar!! mana mungkin bisa nyasar Pak!' Seru Vania.  
"Bapak tahu, tapi Bang Erwan inikan tamu di desa kita jadi bersikaplah baik kepadanya ya sayang" Bujuk Pak Hari.
"Hhhh, iya iya, Nia ambil sepeda dulu".
"Eeeh enggak usah, kamu aku boncengin aja" Cegah Erwan dengan cepat.
"Iya dibonceng Bang Erwan saja Nia, sepedamu kan ban dalamnya bocor belum sempat ditambal" Kata Bu Tia.

"Iya, Nia  pergi dulu ya Pak, Bu" Vania menyalami kedua orang tuanya diikuti Erwan juga.
"Assalamuallaikum" Pamit Erwan dan Vania.
"Walaikumsalam" Sahut Pak Hari dan Bu Elma.


                Erwan duduk disadel sepedanya, sementara Vania duduk di atas boncengan sepeda.
"Pegangan!" Perintah Erwan setelah sepeda dikayuhnya beberapa waktu, tapi Vania tidak mau berpegangan di pinggang Erwan.
"Pegangan!! Nanti kamu jatuh" Perintah Erwan lagi.
"Aku sudah pegangan di bawah sadel sepeda Abang!" Sahut Vania ketus.
"Hhhhh terserah kamulah, sekarang kita mau kemana?"
"Kenapa tanya aku, yang ingin jalan-jalankan Abang!"
"Iya, memang aku yang ingin jalan-jalan, tapi aku kan tamu di desa ini, mana tahu aku tempat yang bagus untuk di datangi"
"Kita kesungai saja" Sahut Vania akhirnya.
"Lewat mana?"
"Pertigaan sana belok kiri, terus lurus saja" Tunjuk Vania dengan jari telunjuknya.

                  Erwan mengayuh sepedanya ke arah yang ditunjukan Vania. Mereka tiba ditepi sungai yang airnya sangat jernih dan banyak batu-batu besar disana. Tepat dihadapan mereka terlihat pegunungan yang tampak berwarna hijau karena jarak dari tempat mereka berdiri tidak begitu jauh dengan pegunungan itu.
Vania dudduk di atas salah satu besar yang permukaannya datar. Letak batu itu tepat ditepi sungai dan berada dibawah pohon rambutan yang berbuah sangat banyak.
                   Erwan memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang sangat sejuk terasa. Dibukanya mata dan ia mendongak menatap ke atas pohon rambutan.
"Tante Nia!"
"Apa!?" Sahut Nia dengan mata melotot gusar.
"Rambutannya boleh dipetik nggak?" Erwan menunjuk kearah rambutan yang bergelantungan.
"Boleh, tuuh disana ada galah bambu" Vania menunjuk kearah satu batang bambu yang bersandar di batang pohon rambutan.
Erwan mengambil galah dari bambu yang di ujungnya ada bambu kecil yang diikatkan menyilang. Galah seperti itu juga ada dirumah kakeknya, tapi dirumah kakeknya ujung galah itu diberi pisau yang diikat menyilang, agar bisa memotong tangkai pepaya atau nangka.

                 Erwan mulai memetik buah rambutan, Vania memunguti buah rambutan yang jatuh dan mengumpulkannya di atas batu datar yang tadi ia duduki.  
"Sudah Bang, secukupnya untuk kita makan berdua saja" Seru Vania.
Erwan menuruti perkataan Vania, ia mengembalikan galah tadi ketempat dimana ia tadi mengambilnya, setelahnya ia duduk di sebelah Vania, ada tumpukan rambutan yang tadi dipetik Erwan di antara mereka.          
              
Erwan mengambil satu buah rambutan, dimakannya isi buah rambutan, sedang kulitnya dilemparkan ke arah sungai, membuat mata Vania melotot gusar ke arah Erwan.
"Jangan buang sampah sembarangan! Apa lagi ke dalam sungai!" Seru Vania dengan nada marah kepada Erwan.
"Memangnya kenapa?"
"Kenapa? Katanya orang kota pintar-pintar, tapi kenapa tidak tahu kalau buang sampah sembarangan itu tidak baik, apa lagi buangnya di sungai, nih yang begini nih yang bikin Jakarta kebanjiran terus!"
"Heeh, aku nggak pernah buang sampah di sungai, rumahku jauh dari sungai tahu!
"iih dasar songong!"

"Hhhh sudah dong Nia jangan berantem lagi ya, hmmm kamu sering datang ke sini ya?"
"Kalau lagi musim rambutan begini, aku dan teman-temanku pulang sekolah hampir tiap hari datang ke sini"
"Metik rambutan ini?"
"Iya"
"Kok buahnya masih banyak?"
"Pohon rambutan ini tidak berhenti berbuah sampai musimnya habis"
"Ooh, begitu ya" 

              Keheningan tercipta diantara mereka, masing-masing asik mengunyah buah rambutan. Erwan melirik wajah Vania yang duduk disampingnya.
'Nia cantik, manis, imut, hidungnya kecil tapi mancung, bibirnya kecil tapi seksi, kulitnya putih, bodoh sekali kalau aku sampai menolak dijodohkan dengan dia, kalau bisa aku akan minta dinikahkan saja sekalian, kalau harus menunggu lagi, aku takut Nia nanti diambil orang'

"Nia"
"Hmmm"
"Kamu sudah punya pacar?"
"Pacar? Kata Ibu, Nia nggak boleh pacaran"

" Kenapa?"
"Kata Ibu, Nia tidak boleh dekat-dekat cowok, eeh tapi kok Ibu tidak melarang Nia dekat-dekat Abang ya, Abang kan cowok juga" Vania menatap Erwan dengan tatapan bingung.
"Kenapa dilarang Ibu dekat-dekat cowok?"
"Ibu khawatir nanti aku seperti Rumi kalau tidak hati-hati"
"Rumi itu siapa? Memangnya Rumi kenapa?"
"Rumi itu teman sekolah Nia, dia tidak bisa sekolah lagi karena hamil"
"Owhh"  
         
            Keheningan tercipta lagi diantara mereka berdua. 
Pipi Nia yang chubby menggemaskan membuat Erwan tidak bisa menahan diri untuk tidak mendaratkan ciuman di pipi Vania.
"Cup" 
Bibir Erwan mendarat di pipi Vania, mata Vania membulat dan mulutnya ternganga.
"Abaaaang!!!! Kenapa Nia dicium!" Seru Vania marah sambil memukuli Erwan dengan tangan mungilya. Erwan menangkap tangan Vania.
"Abang sayang sama Nia, Abang jatuh cinta sama Nia"
"Tapi nanti kalau Nia hamil bagaimana?" sahut Vania masih dengan nada suara marah.
"Hamil?" Tanya Erwan bingung, masa iya dicium pipi bisa hamil batin Erwan.
" Iya! Kata Ibu, Rumi hamil karena dicium Bang Narji, iiihhh Abang!! Nia nggak mau hamil!!" Mulut Erwan melongo mendengar perkataan Vania, ia tidak menyangka kepolosan Vania luar biasa. Sepertinya Vania benar-benar masih suci dan murni belum terkontaminasi hal yang tidak benar.
Tapi mendengar ucapan Vania, justru timbul ide di kepala Erwan agar rencananya untuk segera dinikahkan dengan Vania berjalan mulus.

"Abang akan bertanggung jawab, Abang akan menikahi Nia, maukan Nia jadi istri Abang?"
"Iiih nggak mau! Nia masih mau sekolah" Vania menggelengkan kepalanya dengan kuat, air mata sudah membasahi pipinya.
"Di kota meski sudah menikah masih bisa sekolah kok, Nia kan ingin sekolah di kota, kalau nikah sama Abang pasti diijinkan Bapak ikut ke kota" rayu Erwan.
"Nia ingin sekolah di kota, tapi Nia belum mau nikah Abang"
"Nia sudah Abang cium, kalau nanti Abang kembali ke kota, terus ternyata Nia hamil sedang kita belum nikah bagaimana?" Kata Erwan bernada ancaman.

                 Tangis Vania pecah seketika.
"Nia nggak mau hamil, ini salahnya Abang, huuuhuuuu" Vania memukuli Erwan lagi, Erwan menangkap tangan Vania, dibawanya Vania kedalam pelukannya.
"Nia mau ya nikah sama Abang" Bujuk Erwan.
"Tapi kitakan masih kecil Abang, Nia masih ingin sekolah"
"Abang sudah bilang mesti kita sudah menikah nanti, Nia dan Abang masih bisa sekolah kok"
"Tapi nanti kita harus bilang apa sama Bapak dan Ibu?" Tanya Vania polos.
"Biar nanti Abang yang bicara dengan Ibu dan Bapak, Nia kalau ditanya setuju atau tidak, Nia cukup jawab setuju saja"  Erwan mengelus rambut Vania lembut, dikecupnya lagi pipi Vania.
"Iiih Abang! kenapa Nia dicium lagi?" Vania mendorong dada Erwan dengan marah.
"Nia kan sebentar lagi jadi istri Abang, jadi tidak apakan kalau Abang cium lagi, habisnya Nia cantik banget, Abang sayang sama Nia" Pujian Erwan membuat pipi Vania yang tadinya merah karena marah, bertambah merah lagi karena dipuji.

***********************BERSAMBUNG**************************